Rabu, 22 Februari 2017
Kamis, 16 Februari 2017
sistem perkemihan "Asuhan Keperawatan sindrom nefrotik"
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem perkemihan terdiri dari organ
ginjal, ureter, vesika urinaria (kandung kemih) dan uretra membentuk sistem
urinarius. Fungsi utama ginjal adalah mengatur cairan serta elektrolit dan
komposisi asam- basa cairan tubuh, mengeluarkan produk akhir metabolic dari
dalam darah, dan mengatur tekanan darah. Urine yang terbentuk sebagai hasil
dari proses ini diangkut dari ginjal melalui ureter kedalam kandung kemih
tempat urine tersebut disimpan untuk sementara waktu. Pada saat urinasi kandung
kemih berkontraksi dan urine akan di ekskresikan dari tubuh lewat uretra.
Namun, fungsi masing-masing organ dari sistem perkemihan tersebut tidak luput
dari suatu masalah atau abnormal. Sehingga hal ini dapat menimbulkan beberapa
penyakit atau gangguan salah satunya berupa sindrom nefrotik.
Pada
tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk membedakan
degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang
tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid
(Lipoid droplets) dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis parenkimatosa
kronik”. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya lues dan diberikan
istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk
menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu keadaan klinik dan
laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang mendasari.
Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari
pada perempuan. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi
berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang
mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan. Sindrom nefrotik jarang
menyerang anak dibawah usia 1 tahun. Sindrom nefrotik perubahan minimal ( SNPM
) menacakup 60 – 90 % dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak. Angka
mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi
dan pemberian steroid. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon
untuk nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. Berdasarkan hasil penelitian univariat terhadap 46 pasien,
didapatkan insiden terbanyak sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2 – 6
tahun sebanyak 25 pasien (54,3%), dan terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29
pasien dengan rasio 1,71 : 1.
Insiden sindrom nefrotik pada anak di Hongkong
dilaporkan 2 - 4 kasus per 100.000 anak per tahun ( Chiu and Yap, 2005 ).
Insiden sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak per tahun. Di negara
berkembang, insidennya lebih tinggi. Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada
anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk
mendapatkan gambaran lebih jelas tentang bagaimana “Asuhan Keperawatan
Yang Mengalami Sindrom Nefrotik”
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa definisi osteoarthitis
?
2.
Apa saja etiologi
osteoartitis ?
3.
Bagaimana Manifestasi klinik osteoarthitis ?
4.
Bagaimana patofisiologi osteoarthitis ?
5.
Bagaimana Pemeriksaan penunjang pada osteoartitis ?
6.
Bagaimana Penatalaksanaan
pada osteoartitis ?
7.
Bagaimana
asuhan keperawatan pada klien dengan osteoarthitis ?
1.3 Tujuan
a)
Tujuan umum:
Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan
pada klien dengan sindrom nefrotik
b)
Tujuan khusus
1.
Mampu mengidentifikasi
pengertian, etiologi, tanda dan gejala, klasifikasi, patofisiologi,
penatalaksanaan, pemeriksaan diagnostik sindrom nefrotik
2.
Mampu mengiidentifikasi
proses keperawatan dengan sindrom
nefrotik meliputi: Pengkajian, Diagnosa Keperawatan,
Intervensi dan Rasionalisasi
1.4
Manfaat
1.
Mahasiswa
a.
Mahasiswa memahami penyakit
sindrom nefrotik
sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah sistem perkemihan.
b.
Mahasiswa mengetahui proses
keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di
rumah sakit.
2.
Institusi
a.
Dapat membantu perkembangan
ilmu keperawatan khususnya proses
keperawatan dengan sindrom
nefrotik di institusi kelompok melakukan studi.
b.
Dijadikan acuan dan bahan
bagi penulis/kelompok lain yang berminat untuk menulis makalah tentang asuhan
keperawatan dengan sindrom nefrotik
3.
Masyarakat
Masyarakat
mampu memahami apa itu sindrom
nefrotik beserta penyebab dan akibatnya.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1 Anatomi Fisiologi
1. Ginjal
Kedudukan ginjal di belakang
dari kavum abdominalis di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra lumbalis
III melekat langsung pada dinding abdomen.Manusia memiliki sepasang ginjal yang
terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini terletak di kanan dan kiri
tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal
terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal).Ginjal kanan
biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk
hati.Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan
duabelas. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan
lemak pararenal) yang membantu meredam goncangan.
Ginjal adalah organ ekskresi
dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai bagian dari sistem urin,
ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya
bersama dengan air dalam bentuk urin. Cabang dari kedokteran yang mempelajari
ginjal dan penyakitnya disebut nefrologi.
2. Lapisan ginjal
Setiap ginjal terbungkus
selaput tipis (kapsula renalis) berupa jaringan fibrus berwarna ungu
tua.lapisan ginjal terbagi atas :
-
lapisan luar (yaitu lapisan korteks / substantia
kortekalis)
-
lapisan dalam (yaitu medulla (substantia medullaris)
Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks,
bagian lebih dalam lagi disebut medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis.
Pada bagian medulla ginjal manusia dapat pula dilihat adanya piramida yang
merupakan bukaan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat
longgar yang disebut kapsula.
3.
Unit fungsional ginjal
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang
dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia
dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama
elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi
cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya
akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme
pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan
disebut urin.
Sebuah nefron terdiri dari
sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan Malphigi) yang
dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).Setiap korpuskula mengandung
gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding
kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan.
Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari
glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong
plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah
yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen.
Tubulus ginjal merupakan
lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari
kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya adalah
lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal.
Lengkung Henle diberi nama
berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-an.
Lengkung Henle menjaga gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang
digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria
yang menghasilkan ATP dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap
kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air
(97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus
melalui osmosis.Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem
pengumpul yang terdiri dari:Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen
disebut aparatus juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel
juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan
sekresi renin.
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang
sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus.
Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang
mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
1)
Faal
glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler
yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid
osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas
pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan
tubuh anak.
2)
Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi
dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang
direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit
dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa).
Pada
anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur
a.
1-2
hari : 30-60 ml
b.
3-10
hari : 100-300 ml
c.
10
hari-2 bulan : 250-450 ml
d.
2
bulan-1 tahun : 400-500 ml
e.
1-3
tahun : 500-600 ml
f.
3-5
tahun : 600-700 ml
g.
5-8
tahun : 650-800 ml
h.
8-14
tahun : 800-1400 ml
3)
Tubulus
Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling
banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa
yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl,
Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan
urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
4)
Loop
of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb,
thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan
intratubuler lebih hipotonik.
5)
Tubulus
distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan
elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan
ion hidrogen.
6)
Duktus
koligentis
Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif
kalium dilakukan pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.
2.2
Definisi
Sindrom
nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi proteinuria
masif > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia. Manifestasi dari
keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomerulus dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus (Muttaqin, 2012). Sindrom
nefrotik terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria
dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat.
Pada dewasa terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia (Mansjoer, 2001).
Nefrotik
sindrom adalah gangguan klinik yang ditandai dengan peningkatan protein urine
(proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), dan
kelebihan lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh
kelebihan pecahan plasma protein ke dalam urine karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler glomerulus. (dr.nursalam, dkk. 2009)
Sindrom nefrotik adalah penyakit
dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.
Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (
Ngastiyah, 2005). Sindroma
nefrotik adalah suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan penyakit
yang mendasari, dimana menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Secara
fungsional sindrom nefrotik diakibatkan oleh keabnormalan pada proses filtrasi
dalam glomerulus yang biasanya menimbulkan berbagai macam masalah yang
membutuhkan perawatan yang tepat, cepat, dan akurat. (Alatas, 2002)
Sindrom nefrotik adalah
keadaan klinik dengan proteinuria masif (>3,5 g/hari), hipoalbuminemia,
edema dan hiperlipidimia, biasanya kadar BUN normal. Disertai penyakit
glomerulus (idiopatik) primer atau mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan
sistemik dengan ginjal yang terserang secara sekunder. (sylvia A. Price. 2005)
2.3 Etiologi
Menurut
Mansjoer, 2001 Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui,
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi
antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi :
1.
Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif
autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan.
Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2.
Sindrom nefrotik sekunder.
Disebabkan oleh : Malaria
kuartana atau parasit lainnya, Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus
diseminata, purpura anafilaktoid, Glumerulonefritis akut atau kronik, Trombosis
vena renalis, Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, air raksa, Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3.
Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau
disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada
biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, terbagi menjadi :
a)
Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan
tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata
tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.
b)
Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan
dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c)
Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif
esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler
tersumbat, dengan penebalan batang lobular, Terdapat prolefirasi sel mesangial
yang tersebar dan penebalan batang lobular, Dengan bulan sabit ( crescent),
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular
dan viseral. Prognosis buruk.
d)
Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan
penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin
beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
e)
Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok
sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.
Penyebab
sindrom nefrotik dibagi menjadi 2
menurut muttaqin. 2012 adalah:
1)
Primer,
berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti:
a.
Glomerulonefritis
b.
Nefrotik
sindrom perubahan minimal
2)
Sekunder,
akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain, seperti:
a.
Diabetes
mellitus
b.
Sistema
lupus eritematosus
c.
Amyloidosis
2.4 Manifertasi Klinis
Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema
biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya
lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata
(periorbital) yang tampak pada pagi hari, dan berlanjut ke abdomen terjadi penumpukan
cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura, daerah genitalia dan
ekstermitas bawah yaitu pitting (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas,
penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
1.
Penurunan
jumlah urin : urine gelap, berbusa, volume urin berkurang,
warna agak keruh dan berbusa, selama beberapa minggu mungkin terdapat hemturia
dan oliguri terjadi karena penurunan
volume cairan vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH)
2.
Pucat
3.
Hematuri
4.
Anoreksia
dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
5.
Sakit
kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya
terjadi.
6.
Gagal
tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang)
7.
Proteinuria
> 3,5 gr/hr pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hr pada anak-anak
8.
Hipoalbuminemia
< 30 gr/l\
9.
Hiperlipidemia,
umumnya ditemukan hiperkolesterolemia
10. Hiperkoagulabilitas, yang akan meningkatkan risiko
trombosis vena dan arteri
11. Kenaikan
berat badan secara progresif dalam beberapa hari/minggu.
12. klien
mudah lelah atau lethargie tapi tidak kelihatan sakit payah.
13. Hipertensi
(jarang terjadi) karena penurunan
voulume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang
mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi
pembuluh darah.
14. Pembengkakan
jaringan akibat penimbunan garam dan air
2.5
Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999
: 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a.
Sindrom
Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).\
Kondisi yang sering menyebabkan
sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada
biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
b.
Sindrom
Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan
penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik,
glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
c.
Sindrom
Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen
resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek
dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan
bayi jika tidak dilakukan dialysis.
Sindrom Nefrotik menurut terjadinya
a.
Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama
kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan
ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir premature (90%),
plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Gejala asfiksia
dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites, biasanya tampak
pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai hipoproteinemia, proteinuria massif dan hipercolestrolemia. Gejala
klinik yang lain berupa kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil,
jarak kedua mata lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis
jelek dan meninggal Karen ainfeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu
cara untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan
kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya meninggi.
b.
Sindrom Nefrotik yang didapat
Termasuk disini sindrom
nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder.
2.6
Patofisiologi
Penyebab dari sindrom nefrotik terdiri dari primer dan sekunder, penyebab secara primer
berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti: Glomerulonefritis,Nefrotik
sindrom perubahan minimal.Sedangkan secara sekunder yaitu akibat infeksi,
penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain, seperti: Diabetes mellitus
disertai glomerulosklerosis interkapiler, Sistema lupus eritematosus,
Amyloidosis, dan trombosis vena renal. Kondisi dari sindrom nefrotik adalah
hilangnya plasma protein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu
meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus
mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga
terjadi hipoalbuminemia.
Terjadi penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema
generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang
caiaran ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem
renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Manifestasi hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis
lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam darah
(hiperlipidemia).
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik
yang memengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap
menyerang anak-anak, namun sindromnefrotik juga terjadi pada orang dewasa
termasuk lansia..Respon perubahan
patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai masalah
keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat (Muttaqin,
2011).
Kelainan
yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya
muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik
keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya
terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran
glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada
sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri
dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan
onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang
intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan
keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan.
(Silvia A Price, 2005).
Akibat
dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan
volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal
ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi
pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume
atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi
natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang
meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan
peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan
air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002).
Stimulasi
renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol,
trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan
terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002).
Pada
status nefrosis hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserida) dan
lipoprotein serum meningkat. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein dan katabolisme lemak menurun,
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein plasma keluar melalui urin
belum jelas (Behrman, 2000).
Sindrom
nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik
yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap
menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa
termasuk lansia. Respon perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan
memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus
progresif cepat.
2.7 PATWAY
Plasma,
peningkatan tekanan hidrostatik
Volume intravaskular meningkat
Akumulasi
cairan rongga
Edema hipoalbuminemia
2.8
Pemeriksaan diagnostik
a)
Urine
Volume biasanya kurang dari 400
ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan
adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020
menunjukkan penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan
kehilangan kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat. pH lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran
kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal kronis (GGK). Protein urin
meningkat (nilai normal negatif).
b)
Darah
Hemoglobin menurun karena adanya
anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat
bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah
merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin. Kimia
serum : protein total dan albumin menurun, kreatinin meningkat atau normal,
trigliserida meningkat dan gangguan gambaran lipid. Penurunan pada kadar serum
dapat menunjukkan kehilangan protein dan albumin melalui urin, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun : kurang dari atau sama dengan
220 mg/dl).
Pemeriksaan
urin dan darah untuk memastikan proteinuria, proteinemia, hipoalbuminemia, dan
hiperlipidemia.
c)
Biosi
ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa. Biopsi dengan memasukkan jarum kedalam ginjal :
pemeriksaaan histology jaringan ginjal untuk menegakkan diagnosis.
d)
Pemeriksaan
penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis).
2.9
Penatalaksanaan
Tujuan
terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan
risiko komplikasi.
a.
Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat
simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki
keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
· Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan
natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
· Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam,
dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada
beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler
berat.
· Dengan
antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan
adanya TBC
· Diuretikum
Boleh
diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon,
furosemid atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron
seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis
aldosteron.
· Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in
Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
a.
Selama
28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan
badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
b.
Kemudian
dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari.
Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten
selama 4 minggu.
c.
Tapering-off:
prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai
akhirnya dihentikan.
d.
Pungsi
asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal
jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000)
e.
Diet
Diet rendah garam (0,5 – 1
gr sehari) membantu menghilangkan edema. Minum tidak perlu dibatasi karena akan
mengganggu fungsi ginjal kecuali bila terdapat hiponatremia. Diet tinggi
protein teutama protein dengan ilai biologik tinggi untuk mengimbangi
pengeluaran protein melalui urine, jumlah kalori harus diberikan cukup banyak.
Pada beberapa unit masukan
cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi
menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang,
pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam
usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan
jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram
protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan
bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
Makanan
yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan garam
minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam
sedikit. Diet rendah natrium tinggi protein. Masukan protein ditingkatkan untuk
menggantikan protein di tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah
natrium.
· Kemoterapi:
Prednisolon
digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping
minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg
diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan
obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang,
efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis,
ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
Jika
terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik (
imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
b.
Penatalaksanaan
Keperawatan
·
Tirah baring: Menjaga pasien
dalam keadaan tirah baring selama beberapa harimungkin diperlukan untuk
meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. Baringkan pasien setengah duduk,
karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas. Berikan
alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang,
karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan
menyebabkan edema hebat).
·
Terapi cairan: Jika klien dirawat
di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat da dicatat. Cairan
diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
·
Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam
perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang
sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan
plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara
mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum
harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan
menggosok kulit.
·
Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat
edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus
diswab dengan air hangat.
·
Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh
nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan
infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
·
Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik
cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga
merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
·
Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan
yang tepat, penimbangan
harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
·
Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak
sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini
merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada
keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik.
Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat
mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada
mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
·
Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal
dibawah skrotum untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah
terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien.
2.10
Komplikasi
1.
Infeksi
sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.
2.
Shock
hipovolemik:
terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3.
Trombosis
vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian
fibrinogen plasma.
4.
Komplikasi
yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
5.
Trombosis
vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk mencegah
terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan yang
dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian heparin.
6.
Gagal
ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan di dalam
jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.
7.
Edema
pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru yang
menyebabkan hipoksia dan dispnea.
8.
Perburukan pernafasan
(berhubungan dengan retensi cairan)
9.
Kerusakan kulit
10. Peritonitis
(berhubungan dengan asites)
11. Hipovolemia
12. Komplikasi tromboemboli- terombosis vena renal,
trombosis vena dan arteri ekstremitas dan trombosis arteri serebral
BAB
III
ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan
keperawatan berdasarkan teori
A. Pengkajian
a. Identitas
klien:
1. Umur: lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia
pra-sekolah (3-6 th). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas
tubuh dan kelainan genetik sejak lahir.
2. Jenis kelamin: anak laki-laki lebih sering terjadi
dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur
anak 3-6 tahun terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase
oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa
daerah genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan diri terutama
daerah genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering bermain dan
kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat memicu terjadinya
infeksi.
3. Agama
4. Suku/bangsa
5. Status
6. Pendidikan
7. Pekerjaan
b. Identitas penanggung jawab
Hal
yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan hubungannya
dengan klien.
c. Riwayat
Kesehatan
1.
Keluhan
utama: kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar (adanya
acites).
2.
Riwayat
kesehatan sekarang
Untuk pengkajian
riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan hal berikut:
a)
Kaji
berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
b)
Kaji
onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan adanya
keluhan pusing dan cepat lelah
c)
Kaji
adanya anoreksia pada klien
d)
Kaji
adanya keluhan sakit kepala dan malaise
3.
Riwayat
kesehatan dahulu
Perawat
perlu mengkaji:
a)
Apakah
klien pernah menderita penyakit edema?
b)
Apakah
ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi
pada masa sebelumnya?
c)
Penting
juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat
alergi terhadap jenis obat
4.
Riwayat
kesehatan keluarga
a)
Kaji
adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu timbulnya
manifestasi klinis sindrom nefrotik
d.
Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
a)
Pola nutrisi dan metabolisme: anoreksia, mual, muntah.
b)
Pola eliminasi: diare, oliguria.
c)
Pola aktivitas dan latihan: mudah lelah,
malaise
d)
Pola istirahat tidur: susah tidur
e)
Pola mekanisme
koping
: cemas, maladaptive
f)
Pola persepsi diri dan konsep diri : putus asa, rendah
diri
e.
Pemeriksaan Fisik
i.
Status kesehatan umum
a)
Keadaan
umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
b)
Kesadaran:
biasanya compos mentis
c)
TTV:
sering tidak didapatkan adanya perubahan.
j. Pemeriksaan sistem tubuh
B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya hgangguan pola nafas
dan jalan nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase
akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
nafas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
B2
(Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons
sekunder dari peningkatan beban volume .
B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak
ikterik. Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya
azotemia pada sistem saraf pusat.
B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine
berwarna kola
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada
abdomen.
B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek
sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
f. Pengkajian Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara
mikroskopik secara umum, terutama albumin. Keadaaan ini juga terjadi akibat
meningkatnya permeabilitas membran glomerulus.
B. Diagnosa keperawatan teori
1.
Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap
peningkatan permiabilitas glomerulus.
2.
Ketidakseimbangan
nutrisi kuruang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap
kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
3.
Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
4.
Ansietas
berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).
5.
Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelelahan.
6.
Gangguan
body image berhubungan dengan perubahan penampilan
7.
kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh.
8.
Ketidakefektifan pola
pernafasan berhubungan dengan gangguan fungsi pernafasan
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
|
Tujuan
& KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kelebihan volume
cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap peningkatan
permiabilitas glomerulus.
|
Tujuan : pasien tidak menunjukkan bukti-bukti akumulasi
cairan (pasien mendapatkan volume cairan yang tepat)
Kriteria hasil:
· Penurunan edema, ascites
· Kadar protein darah meningkat
· Output urine adekuat 600 – 700 ml/hari
· Tekanan darah dan nadi dalam batas normal.
|
a. Kaji masukan
yang relatif terhadap keluaran secara
akurat.
b. Timbang berat badan
setiap hari (atau lebih sering jika diindikasikan).
c. Kaji
perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus serta pantau edema
sekitar mata.
d. Atur masukan cairan
dengan cermat.
e. Pasang cairan infus dan pantau infus intra vena
f.
Kolaborasi : Berikan
kortikosteroid sesuai ketentuan.
g. Berikan
diuretik bila diinstruksikan.
|
a. perlu untuk
menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko
kelebihan cairan.
b. Mengkaji retensi
cairan
c. Untuk
mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum edema.
d. Agar tidak
mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan
e. Untuk
mempertahankan masukan yang diresepkan
f. Untuk
menurunkan ekskresi proteinuria
g. Untuk memberikan
penghilangan sementara dari edema.
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap
kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
|
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam kebutuhan nutrisi akan
terpenuhi
Kriteria Hasil :
· Napsu makan baik
· Tidak terjadi hipoprtoeinemia
· Porsi makan yang dihidangkan dihabiskan
· Edema dan ascites tidak ada.
|
a. Catat intake
dan output makanan secara akurat
b. Kaji adanya
anoreksia, hipoproteinemia, diare.
c. Pastikan anak
mendapat makanan dengan diet yang cukup.
d. Beri diet yang
bergizi
e. Batasi natrium
selama edema dan trerapi kortikosteroid
f. Beri
lingkungan yang menyenangkan, bersih, dan rileks pada saat makan
g. Beri makanan
dalam porsi sedikit pada awalnya dan Beri makanan dengan cara yang menarik
h. Beri makanan
spesial dan disukai anak
|
a.
Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh
b.
Gangguan nuirisi dapat terjadi secara perlahan. Diare sebagai reaksi edema intestinalMencegah status
nutrisi menjadi lebih buruk.
c.
membantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan daya tahan tubuh anak
d.
asupan natrium dapat memperberat edema usus yang menyebabkan hilangnya nafsu
makan anak
e.
agar anak lebih mungkin untuk makan
f.
untuk merangsang nafsu makan anak
g.
untuk mendorong agar anak mau makan
h.
untuk menrangsang nafsu makan anak
|
Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
|
Tujuan
:
Tidak terjadi infeksi
Kriteria
hasil :
·
Tanda-tanda infeksi tidak ada
·
Ada perubahan perilaku keluarga dalam
melakukan perawatan.
|
a. Lindungi anak
dari orang-orang yang terkena infeksi melalui pembatasan pengunjung.
b. Tempatkan anak di
ruangan non infeksi.
c. Cuci tangan
sebelum dan sesudah tindakan.
d. Lakukan tindakan
invasif secara aseptik
e. Gunakan teknik
mencuci tangan yang baik
f. Jaga
agar anak tetap hangat dan kering
g. Pantau suhu.
h. Ajari orang tua
tentang tanda dan gejala infeksi
|
a. Meminimalkan
masuknya organisme. Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
b. Mencegah terjadinya
infeksi nosokomial.
c. Membatasi
masuknya bakteri ke dalam tubuh. Deteksi dini adanya infeksi dapat mencegah
sepsis.
d. Untuk meminimalkan
pajanan pada organisme infektif
e. Untuk memutus mata
rantai penyebaran infeksi
f. Karena
kerentanan terhadap infeksi pernafasan
g. Indikasi awal
adanya tanda infeksi
h. Memberi pengetahuan
dasar tentang tanda dan gejala infeksi
|
Ansietas
berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak hospitalisasi).
|
Tujuan : Kecemasan menurun atau hilang
Kriteria hasil :
·
Kooperatif pada
tindakan keperawatan
·
Komunikatif pada
perawat
·
Secara verbal
mengatakan tidak takur
|
a. Validasi
perasaan takut atau cemas.
b. Pertahankan kontak
dengan klien.
c. Upayakan ada
keluarga yang menunggu
d. Anjurkan orang tua
untuk membawakan mainan atau foto keluarga
|
a.
Perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk tebuka sehingga dapat
menghadapinya.
b.
Memantapkan hubungan, meningkatan ekspresi perasaan.
c.
Dukungan yang terus menerus mengurangi ketakutan atau kecemasan yang
dihadapi.
d.
Meminimalkan dampak hospitalisasi terpisah dari anggota keluarga.
|
Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelelahan.
|
Tujuan : mampu melakukan aktivitas sesuai kemampuan
Kriteria hasil :
Terjadi
peningkatan mobilitas.
|
a.
Kaji kemampuan klien melakukan aktivitas
b.
Tingkatkan tirah baring / duduk.
c.
Ubah posisi dengan sering.
d.
Berikan dorongan untuk beraktivitas bertahap.
e.
Ajarkan teknik penghematan energi contoh duduk, tidak berdiri.
f.
Berikan perawatan diri sesuai kebutuhan klien.
|
a.
sebagai pengkajian awal aktivitas klien.
b.
meningkatkan istirahat dan ketenangan klien, posisi telentang meningkatkan
filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
c.
pembentukan edema, nutrisi melambat, gangguan pemasukan nutrisi dan
imobilisasi lama merupakan stressor yang mempengaruhi intregitas kulit.
d.
melatih kekuatan otot sedikit demi sedikit.
e.
menurunkan kelelahan.
f.
memenuhi kebutuhan perawatan diri klien selama intoleransi aktivitas.
|
Gangguan body
image berhubungan dengan perubahan penampilan
|
Tujuan:
tidak terjadi gangguan boby image
Kriteria Hasil:
·
menytakan penerimaan situasi diri,
·
memasukkan perubahan konsep diri tanpa
harga diri negatif
·
Anak mau mengungkapkan perasaannya.
·
Anak tertarik dan mampu bermain
|
a.
Kaji pengetahuan pasien terhadap adanya
potensi kecacatan yangberhubungan dengan pembedahan dan perubahan.
b.
Pantau kemampuan pasien untuk melihat
perubahan bentuk dirinya.
c.
Dorong pasien untuk mendiskusikan perasaan
mengenai perubahan penampilan
d.
Diskusikan pilihan untuk rekontruksikan dan
cara-cara untuk membuat penampilan yang kurang menjadi menarik.
|
a.
memberikan informasi untuk memformulasikan perencanaan.
b.
ketidakmampuan untuk melihat bagian tubuhnya yang terkena mungkin
mengindikasikan kesulitan dalam koping.
c.
memberikan jalan untuk mengekpresikan dirinya.
d.
meningkatkan control diri sendiri atas kehilangan.
|
kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan pertahanan tubuh.
|
Tujuan : Kulit anak tidak menunjukkan adanya kerusakan
integritas : kemerahan atau iritasiKerusakan integritas
kulit tidak terjadi
Kriteria hasil:
·
Menunjukkan perilaku untuk mencegah
kerusakan kulit.
·
Turgor kulit bagus
·
Edema tidak ada.
|
a. Berikan
perawatan kulit
b. Hindari pakaian
ketat
c. Bersihkan dan
bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari
d. Topang organ edema,
seperti skrotum
e. Ubah posisi dengan
sering ; pertahankan kesejajaran tubuh dengan baik
f. Gunakan
penghilang tekanan atau matras atau tempat tidur penurun tekanan sesuai
kebutuhan
|
a. memberikan
kenyamanan pada anak dan mencegah kerusakan kulit
b. dapat mengakibatkan
area yang menonjol tertekan
c. untuk
mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena gesekan dengan alat tenun
d. untuk menghilangkan
aea tekanan
e. karena anak dengan
edema massif selalu letargis, mudah lelah dan diam saja
untuk mencegah
terjadinya ulkus
|
Ketidakefektifan pola pernafasan
berhubungan dengan gangguan fungsi pernafasan
|
TUJUAN
: pasien menunjukkan fungsi pernafasan normal
KRITERIA HASIL :
·
anak beristirahat dan tidur dengan tenang
·
Pernafasan tidak sulit
·
anak pernafasan tetap dalam batas normal
|
1.
Posisikan untuk efisiensi ventilasi yang
maksimum
2.
Atur aktifitas untuk memungkinkan
penggunaan energy yang minimal, istirahat, dan tidur.
3.
Hindari pakaian yang ketat.
4.
Berikan oksigen tambahan yang sesuai
|
2.
Posisi membantumemaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya pernafasan.
3.
Menurunkan konsumsi/ kebutuhan selama
periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
4.
Pakaian yang terlalu ketat dapat
menyebabkan kurang efisiennya ventilasi
5.
untuk memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi
sekunder terhadap penurunan ventilasi
|
1.
SOP PERAWATAN KULIT
Pengertian :
Merupakan
prosedur perawatan untuk mempertahankan integritas kulit untuk mencegah
kerusakan jaringan lebih lanjut.
Tujuan :
Mencegah dan
mengatasi terjadinya luka dekubitus akibat tekanan lama dan tidak hilang.
Kebijakan :
Kebijakan :
Alat dan bahan:
1.
Baskom cuci
2.
Sabun.
3.
Air
4.
Agens pembersih
5.
Balutan.
6.
Pelindung kulit.
7.
Plester.
8.
Sarung tangan.
Prosedur :
·
Jelaskan prosedur pada klien.
·
Cuci tangan dan gunakasn sarung tangan.
·
Tutup pintu ruangan.
·
Atur posisi pasien dengan miring
kanan atau kiri.
·
Kaji luka/kulit tertekan dengan
memperhatikan:
o
Warna.
o
Kelembaban
o
Penampilan sekitar kulit.
o
Ukuran diameter kulit.
o
Ukuran kedalaman luka.
·
Cuci kulit sekitar luka dengan
air hangat atau sabun cuci secara menyeluruh.
·
Dengan perlahan, keringkan kulit
secara menyeluruh dengan masase.
·
Bersihkan luka secara menyeluruh
dengan cairan normal atau agens pembersih, gunakan semprit irigasi luka pada
luka yang dalam.
·
Setelah selesai berikan obat atau
agens topikal
·
Catat hasil
·
Cuci tangan setelah prosedur
dilakukan.
2.
SOP PEMASANGAN
INFUS
A.
Pengertian
Pemasangan Infus merupakan pemberian sejumlah cairan ke dalam
tubuh lewat sebuah jarum ke dalam pembuluh darah intra vena (pembuluh balik)
untuk dapat menggantikan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh
B. Tujuan
pemasangan infus
1. Mempertahankan
dan mengganti cairan tubuh yg didalamnya mengandung air, vitamin,
elektrolit,lemak, protein ,& kalori yg tidak mampu untuk dapat
dipertahankan secara adekuat melalui oral
2. Agar
dapat memperbaiki keseimbangan asam basa
3. Memperbaiki
volume komponen-komponen darah Memberikan jalan/jalur masuk dalam
pemberian obat-obatan kedalam tubuh
4. Memonitor
tekanan darah Intra Vena Central (CVP)
5. Memberikan
nutrisi pada saat sistem pencernaan untuk di istirahatkan.
C.
Indikasi pemasangan infus
1. Kondisi
emergency (misalnya ketika tindakan RJP), yg memungkinkan untuk pemberian obat
secara langsung ke dalam pembuluh darah Intra Vena
2. Untuk
dapat memberikan respon yg cepat terhadap pemberian obat (seperti furosemid,
digoxin)
3. Pasien
yg mendapat terapi obat dalam jumlah dosis besar secara terus-menerus melalui
pembuluh darah Intra vena
4. Pasien
yg membutuhkan pencegahan gangguan cairan & elektrolit
5. Untuk
menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi kepentingan dgn injeksi
intramuskuler.
6. Pasien
yg mendapatkan tranfusi darah
7. Upaya
profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (contohnya pada operasi
besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan
seandainya berlangsung syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
8. Upaya
profilaksis pada pasien-pasien yg tidak stabil, contohnya syok (meneror nyawa)
& risiko dehidrasi (kekurangan cairan) , sebelum pembuluh darah kolaps (tak
teraba), maka tak mampu dipasang pemasangan infus.
D.
Kontraindikasi
1. Inflamasi
(bengkak, nyeri, demam) & infeksi di area pemasangan infus.
2. Daerah
lengan bawah pada pasien gagal ginjal, lantaran lokasi ini dapat digunakan
untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis
(cuci darah).
3. Obat-obatan
yg berpotensi iritan pada pembuluh vena kecil yg aliran darahnya lambat
(contohnya pembuluh vena di tungkai & kaki).
E.
Persiapan Alat
1. Standar
infuse
2. Set
infuse
3. Cairan
sesuai program medik
4. Jarum
infuse dengan ukuran yg tepat
5. Pengalas
6. Torniket
7. Kapas
alcohol
8. Plester
9. Gunting
Kasa steril
10. Betadin
11. Sarung tangan
F.
Prosedur Kerja :
1. Jelaskan
prosedur yg akan dilakukan Pemasangan infus | dok. Aristianto
4. Isi
cairan ke dalam set infus dgn menekan ruang tetesan sampai terisi sebagian
& buka klem slang sampai cairan memenuhi selang & udara selang ke luar
5. Letakkan
pangalas dibawah lokasi ( vena ) yg akan dilakukan penginfusan
6. Lakukan
pembendungan dengan tornikut (karet pembendung) 10 sampai 12 cm di atas tempat
penusukan & anjurkan pasien untuk menggenggam dengan gerakan sirkular (
apabila sadar )
7. Gunakan
sarung tangan steril
8. Disinfeksi
daerah yg akan ditusuk dengan kapas alcohol
9. Lakukan
penusukan pada pembuluh intra vena dengan meletakkan ibu jari di bagian bawah
vena da posisi jarum ( abocath ) mengarah ke atas
10. Perhatikan
adanya keluar darah melalui jarum ( abocath / surflo ) maka tarik ke luar
bagian dalam ( jarum ) sambil melanjutkan tusukan ke dalam vena
11. Setelah jarum
infus bagian dalam dilepaskan atau dikeluarkan, tahan bagian atas vena dengan
melakukan tekanan menggunakan jari tangan agar darah tidak ke luar. Seterusnya
bagian infus dihubungkan atau disambungkan dengan slang infuse
12. Buka pengatur
tetesan & atur kecepatan sesuai dengan dosis yg diberikan
13. Jalankan
fiksasi dengan kasa steril
14. Tuliskan
tanggal & waktu pemasangan infus serta catat ukuran jarum
15. Lepaskan
sarung tangan & cuci tangan
G.
Dokumentasi Pendokumentasian keperawatan mesti jelas :
1. waktu
pemasangan
3. Tempat
insersi (melalui IV)
4. Kecepatan
aliran (tetesan/menit)
5. Respon
klien sesudah dilakukan tindakan pemasangan infuse
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom
nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan
albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi
dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).
Etiologi
nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik
sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus
Erimatosis, dan Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui penyebabnya). Tanda paling umum adalah
peningkatan cairan di dalam tubuh. Tanda lainnya seperti hipertensi (jarang
terjadi), oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), malaise, mual,
anoreksia, irritabilitas, dan keletihan.
Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul
adalah kelebihan volume
cairan berhubungan, resiko tinggi infeksi, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan, resiko tinggi kerusakan integritas kulit, resiko kehilangan volume
cairan intravaskuler, gangguan perfusi jaringan perifer, gangguan citra tubuh,
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, dan defisit pengetahuan.
4.2 Saran
Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami
berharap agar makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi para dosen,
teman-teman dan pembaca terutama mahasiswa keperawatan
DAFTAR
PUSTAKA
Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15.
Jakarta: EGC
Dr. Nursalam, pransisca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan.
Salemba medika. Jakarta.
Husein A Latas. 2002.
Buku Ajar Nefrologi. Jakarta:
EGC.
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2011. Buku Satu Diagnosa Keperawatan Nanda NIC
NOC, Edisi 9. EGC. Jakarta
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika
Mansjoer, Arif, dkk, (2012), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1,
Media Aesculapius: Jakarta
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta:
EGC
Price A & Wilson
L. 2005. Pathofisiology
Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit). Jakarta: EGC.
Suharyanto, tato, & mudjid, abdul. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
perkemihan. Salemba Medika. Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)