BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Septik
arthritis adalah suatu penyakit radang sendi yang disebabkan oleh bakteri atau
jamur. Infeksi primer disebabkan oleh inokulasi langsung akibat trauma termasuk
pembedahan. Infeksi sekunder akibat penyebaran secara hematogen atau perluasan
dari osteomielitis.
Septik
arthritis memiliki karakteristik hanya melibatkan satu bagian sendi. Septik
arthritis dapat mengenai berbagai usia, tetapi anak-anak dan orang tua lebih
mudah terkena, terutama jika mereka sudah mempunyai kelainan pada sendi seperti
riwayat trauma atau kondisi seperti hemofilia, osteoarthritis, atau rheumatoid
arthritis. Pasien immunocompromise untuk beberapa alasan dan penyakit seperti
diabetes mellitus, alkoholisme, sirosis, kanker, dan uremia meningkatkan resiko
infeksi.
Kejadian
septik arthritis tidak dipengaruhi oleh ras. Infeksi sendi mengenai 55%
laki-laki dan 45% berusia lebih dari 65 tahun. Kejadian artritis septik sekitar
2-10 kasus tiap 100.000 populasi per tahun. Insiden ini meningkat seiring dengan
semakin banyaknya pasien dengan gangguan sistem imun seperti rheumatoid
arthritis dan sistemik lupus eritematosus dimana terdapat sekitar 30-70 kasus
per 100.000 populasi.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa definisi dari
sepsis arthritis ?
1.2.2
Apa etiologi dari sepsis
arthritis ?
1.2.3
Apa patofisiologi dari
sepsis arthritis ?
1.2.4
Apa manifestasi klinis
dari sepsis arthritis ?
1.2.5
Apa pemeriksaan
diagnostik dari sepsis arthritis ?
1.2.6
Apa penatalaksanaan
dari sepsis arthritis ?
1.2.7
Apa komplikasi dari
sepsis arthritis ?
1.2.8
Bagaimana asuhan keperawatan
pada sepsis arthritis ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui
definisi dari sepsis arthritis.
1.3.2
Untuk mengetahui
etiologi dari sepsis arthritis.
1.3.3
Untuk mengetahui
patofisiologi dari sepsis arthritis.
1.3.4
Untuk mengetahui
manifestasi klinis dari sepsis arthritis.
1.3.5
Untuk mengetahui
pemeriksaan diagnostik pada sepsis arthritis.
1.3.6
Untuk mengetahui
penatalaksanaan dari sepsis arthritis.
1.3.7
Untuk mengetahui
komplikasi dari sepsis arthritis.
1.3.8
Untuk mengetahui asuhan
keperawatan pada sepsis arthritis.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Berbagai
definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di
klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of
Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang
mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik
(Chen et.al,2009). Arthritis atau radang sendi
merupakan istilah dari reumatik artikuler (mengenai sendi), dikenal dalam
berbagai bentuk, diantaranya yang paling umum yaitu Arthritis Reumatiod,
Osteoarthritis, dan Gout (arthritis pirai).
Arthritis septic adalah sendi yang mengalami infeksi
akibat penyebaran dari infeksi ditempat tubuh lain (penyebaran hematogenesus)
atau secara langsung akibat trauma atau intervensi bedah. Septik arthritis
merupakan hasil dari invasi bakteri di celah sendi, di mana penyebaran terjadi
secara hematogen, inokulasi langsung akibat trauma maupun pembedahan, atau
penyebaran dari osteomileitis atau selulitis yang berdekatan dengan celah
sendi.
Artritis Septik (AS) merupakan salah satu penyakit
yang merupakan kegawatdaruratan di bidang rematologi terutama bila kuman
penyebabnya bakteri yang dihubungkan dengan kesakitan dan kematian yang
signifikan. Keterlambatan dan terapi yang tidak adekuat terhadap SA dapat
mengakibatkan kerusakan kartilago hyalin artikular dan kehilangan fungsi sendi
yang ireversibel. Diagnosis awal yang diikuti dengan terapi yang tepat dapat
menghindari terjadinya kerusakan dan kecacatan sendi ( Fitraneti, 2011).
Jadi dapat disimpulkan sepsis arthritis adalah suatu
penyakit yang menyerang sendi, dimana terjadi infeksi pada sendi dimana
penyebaran infeksinya bersifat hematogenesus atau secara langsung.
2.2 Etiologi
Penyebab
dari arthritis tergantung pada bentuk dari arthritis. Penyebab-penyebab
termasuk:
a. luka (menjurus pada osteoarthritis),
b. kelainan-kelainan metabolisme
(seperti gout dan pseudogout),
c. faktor-faktor keturunan,
d. infeksi dapat berasal dari bakteri (Staphylococcus
aureus dan Haemophilus influenza, E. coli dan Pseudomonas spp, Neisseria
gonorrhoeae, Salmonella spp, Mycobacterium tuberculosis dan spirochete
bacterium), virus (hepatitis A, B, dan C, parvovirus B19, herpes viruses, HIV
(AIDS virus), HTLV-1, adenovirus, coxsackie viruses, mumps, dan ebola), jamur
(histoplasma, coccidiomyces, dan blastomyces)
e. sebab-sebab yang tidak jelas
(seperti rheumatoid arthritis dan systemic lupus erythematosus).
2.3 Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis,
diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan
korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai
abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea,
esofagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul
paraplegia. Abses pada
daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke
daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada
trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi
perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium
Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang,
maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi
membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini umumnya
terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
2. Stadium
Destruksi Awal
Setelah stadium implantasi,
selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan
pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3. Stadium
Destruksi Lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi
yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang
berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan
( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium
gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan
dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan
abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. Vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang
lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah
ini.Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
Derajat I : Kelemahan
pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat kelemahan
pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat
melakukan pekerjaannya.
Derajat III: Terdapat kelemahan pada
anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas
penderita serta hipestesi/anestesia
Derajat IV:Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris
disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
5. Stadium deformitas
residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 –
5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat
permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien
dengan Artrits Septic Akut di tandai dengan adalah nyeri sendi hebat, bengkak
sendi, kaku dan gangguan fungsi sendi, demam dan kelemahan umum
(Sudoyo,dkk.2009). Gejala-gejala dari septic
arthritis termasuk demam, kedinginan, begitu juga nyeri, pembengkakan,
kemerahan, kekakuan, dan kehangatan sendi.
Sendi-sendi yang paling umum dilibatkan adalah
sendi-sendi besar, seperti lutut-lutut, pergelangan-pergelangan kaki,
pinggul-pinggul, dan siku-siku tangan. Pada orang-orang dengan faktor-faktor
risiko untuk infeksi sendi, sendi-sendi yang tidak umum dapat terinfeksi,
termasuk sendi dimana collar bone (clavicle) bertemu tulang dada (sternum).
Dengan mikroba-mikroba yang tidak umum, seperti Brucella spp., sendi-sendi yang
tidak lazim dapat terinfeksi, seperti sendi-sendi sacroiliac.
2.5 Pemeriksaan
Diagnostik
1. Foto rontgen
Misalnya pada tuberculosis tulang
belakang akan dijumpai hilangnya sudut anterior superior atau inferior dari
badan vertebra dan hilangnya rongga antar vertebra.
2. Tes darah
Tes darah terhadap titer anti-
stafilococus dan anti – streptolisisn hemolisin, tifoid, paratifoid, dan
bruselosis dapat membantu penegakan diagnosis pada kasus sulit dan pada
pusat-pusat dengan pusat yang memadai. Leukosit kadang meningkat sampai
50.000/mm3 (nilai normal : 4.000-10.000/mm3).
Pada pemeriksaan darah akan didapatkan laju endap darah yang meningkat.
Pengecatan gram dan kultur juga merupakan pemeriksaan yang penting. Pada
pewarnaan gram biasanya dapat diberikan antibiotik pertama sambil menunggu
hasil sensitivitas kultur.
3. Biopsi jarum
Juga dapat bermanfaat pada kasus
sulit, namun membutuhkan pengalaman serta pemeriksaan histology yang baik.
4. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini terutama untuk
melihat jaringan lunak yaitu diskus intervertebralis dan ligamentum flavum
serta lesi dalam sum-sum tulang belakang.
5. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dengan
mielografi. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala
penekanan sum-sum tulang belakang.
6. Analisa
cairan sendi
Pemeriksaan cairan
sendi merupakan pemeriksaan yang rumit. Ketika gejala klinis telah tampak, maka
pada cairan sendi akan tampak keruh atau purulen.
7. USG
Digunakan untuk
mendeteksi cairan sendi yang terletak lebih dalam. Gambaran khas dari septik
arthritis pada pemeriksaan USG berupa non-echo-free effusion yang berasal dari
bekuan darah. USG dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan aspirasi dan
drainase serta untuk memonitor status kompartmen intrartikuler, kapsul sendi,
tidak mahal, dan mudah digunakan, tetapi pemeriksaan ini sangat tergantung dari
operator yang mengerjakannya.
2.6 Penatalsanaan
Prinsip penatalaksanaan pada septik arthritis akut:
1. Drainase
sendi harus adekuat
2. Antibiotik
harus diberikan untuk mengurangi efek sistemik dari sepsis
3. Sendi
harus diistirahatkan dalam posisi stabil
A.
Terapi Umum
Analgetik dan dan pembidaian dari sendi yang terkena
pada posisi maksimal dan senyaman mungkin untuk mengurangi nyeri. Adanya fokus
infeksi dan kondisi medis harus diindetifikasi dan diterapi sesuai penyakit
yang ditemukan. Penggantian cairan dan kecukupan nutrisi mungkin diperlukan.
B.
Terapi Khusus
Terapi definitif yang diperlukan berupa drainase
dari pus yang terdapat di sendi dan memberikan terapi antibiotik yang efektif.
Teknik dari drainase tergantung dari sendi yang terkena, stadium infeksi, dan
respon dari pasien. Walaupun sendi yang terinfeksi dapat didrainase dengan
hasil yang memuaskan melalui aspirasi berulang, namun pada sendi panggul dan
mungkin sendi yang lain yang sulit dilakukan drainase maka harus dilakukan
artrotomi sesegera mungkin setelah teridentifikasi dari septik atritritis.
Indikasi lain dari drainase dengan teknik pembedahan adalah septik arthritis
dimana pusnya terlokalisir, gagal dalam terapi nonoperatif, infeksi yang telah
berlangsung lama, dan infeksi sendi pasca pembedahan atau luka penetrasi.
Antibiotik parenteral diindikasikan untuk septik
arthritis. Jika kuman tidak tampak pada pewarnaan gram dan sebelumnya pasien
adalah seorang dewasa sehat, maka diagnosa kerjanya adalah arthritis gonokokus,
dan penisilin dapat menjadi pilihan terapi. Anak-anak di bawah 4 tahun
mempunyai insiden yang signifikan terhadap arthritis akibat H. influenza. Pada
orang dewasa, dimana pada pewarnaan gram ditemukan bakteri gram negatif, maka
pilihan terapinya adalah sefalosporin atau penisilin beta laktamase dan
aminoglikosida. Infeksi yang disebabkan oleh H.influenza, Streptococcus,
Neisseria, memiliki respon terapi yang baik dan lebih cepat, sehingga
pemberiannya dapat dipersingkat (< 2 minggu). Sedangkan, pada infeksi yang
disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri basili gram negatif, respon terapi
lebih lambat sehingga membutukan waktu yang lebih panjang yaitu sekitar 4-6
minggu. Pada infeksi sendi panggul dan bahu, pasien immunocompromise, pasien
dengan respon terapi jelek akan membutuhkan pengobatan yang lebih lama pula.
Ketika kuman telah teridentifikasi dari hasil
kultur, maka pilihan antibiotik harus sesuai dengan hasil yang telah ditemukan.
Hasil kultur dan respon klinis sesudah itu digunakan untuk memastikan regimen
antibiotik. Antibiotik parenteral diteruskan dengan dosis tinggi sampai
inflamasi mereda secara signifikan. Tambahan antibiotik oral selama 3-4 minggu
biasanya diperlukan setelah pemberian antibiotik parenteral. (1) Sebagian
klinisi menyatakan bahwa pemberian antibiotik parenteal harus diteruskan
setidaknya sampai suhu dan kadar CRP mencapai nilai mormal dengan terapi
maintenance 4-6 minggu.(4) Injeksi penisilin G 10 juta unit per 24 jam
diberikan pada arthritis gonokokus dan diteruskan sampai perbaikan klinis
dicapai secara signifikan. Saat tanda lokal teratasi, antibiotik dapat diubah
ke ampisilin oral, 4 kali 500 mg per hari selama 7 hari.
2.7 Komplikasi
Komplikasi terdiri dari destruksi sendi,
osteomielitis, dan penyebaran ke tempat lain baik secara langsung ataupun
secara hematogen. Semakin cepat diagnosis dan diterapi dilaksanakan, maka
kemungkinan terjadinya komplikasi akan semakin kecil. Komplikasi yang dapat
ditimbulkan termasuk kerusakan sendi berupa osteoarthritis. Pada anak-anak,
keterlibatan dari growth plates dapat meningkatkan progresifitas dari
deformitas dan pemendekan dari segment yang terkena. Selain itu, komplikasi
lain seperti dislokasi sendi, epifisiolisis, ankilosis, dan osteomielitis.
Dapat
menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi di
bawah kulit yang disebut subcutan nodule, pada otot dapat terjadi myosis (
proses granulasi jaringan otot) , pada pembuluh darah terjadi tromboemboli, dan
terjadi spenomegali. Komplikasi lanjutnya adalah penyakit degeneratif pada
sendi, dislokasi permanen dan fibrous ankylosis.
2.8 Asuhan Keperawatan
1. Anamesis
1) Identitas klien meliputi nama, usia,
jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam MRS, no.regist, asuransi kesehatan, dan diagnostik medis.
2) Keluhan utama yang sering menjadi
alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah paraparesis, gejala
paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang, dan adanya nyeri
tulang belakang. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien,
perawata dapat menggunakan metode PQRST.
Provoking Insident : hal yang menjadi factor
presipitasi nyeri adalah adanya peradangan pada tulang belakang.
Quality Ofpain : Nyeri yang dirasakan klien
bersikap menusuk. Nyeri sering disertai dengan adanya parestesia. Factor yang
mengurangi nyeri dikaji karena pada beberapa keadaan, kualitas dan kuantitas
nyeri berkurang dengan manajemen nyeri keperawatan yang meliputi pengaturan
posisi, relaksasi napas dalam, metode distraksi, manajemen sentuhan dengan
masase ringan disekitar lokasi nyeri.
Region, Radiation, Relieft : kaji apakah nyeri dapat reda,
apakah nyeri menjalar atau menyebar karena pada beberapa kasus, nyeri sering
menajalar dari tulang belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu,
kaji dimana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokasi, dan sebatas apa.
Severity (Scala) Ofpaint : nyeri biasanya 1-3 pada penilaian
skala nyeri 0-4
Time : berapa lama nyeri berlangsung,
kapan, apakah kondisi nyeri berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
3) Riwayat penyakit sekarang. Keluhan
yang didapat hamper sama dengan gejala tubercolosis pada umunya, yaitu badan
lemah/ lesu, nafsu makan berkurang, BB menurun, suhu sedikit meningkat (
subfebril ) terutama pada malam hari, serta sakit punggung. Pada anak-anak
sering disertai dengan menangis pada malam hari ( night cries ). Pada
tubercolosis vertebra servikalis, dapat ditemukan nyeri didaerah belakang
kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernapasan akibat adanya abses
retrofaring. Kadang kala klien dating dengan gejala abses pada daerah
paravertebral, abdominal, inguinal, popliteal, atau bongkong
4) Riwayat Penyakit Dahulu. Ada keluhan
riwayat TB paru dan penggunaan obat anti tubercolosis ( OAT ). Penyakit lainnya
seperti hipertensi, DM perlu juga di
kaji untuk mengindetifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi
keperawatan.
5) Pengkajian psikososiospiritual.
Perawat mengkaji mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan
berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi yang berbeda pada
setiap klien yang mengalami spondilitis tuberkolosa.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang
mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem
(B1-B6) dengan focus pemeriksaan B6 (bone) yang terarah dan dihubungkan dengan
keluhan klien.
1) Keadaan umum
Klien umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan tanda-tanda vital yang meliputi bradikardia dan hipertensi sering
berhubungan dengan penurunan aktivitas secara umum akibat adanya hambatan dalam
melakukan mobilisasi ekstermitas.
2) Pengkajian B6
a) B1 (Breathing)
Hasil pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis
tuberculosa dengan fase penurunan aktivitas yang parah adalah pada infeksi
didapatkan bahwa klien batuk, ada peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Pada
palpasi, ditemukan taktil premitus seimang kanan dan kiri. Pada perkusi,
ditemukan adanya resonan pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi, didapatkan
suara napas tambahan, seperti ronchi pada klien dengan peningkatan produksi
secret, dan kemampuan batuk yang menurun yang sering ditemukan pada klien
spondilitis tuberculosa dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien
spondilitis tuberculosa fase awal, biasanya tidak didapatkan kelainan pada
sistem pernapasan.
b) B2 (Blood )
Pada keadaaan spondilitis tuberculosa dengan komplikasi
paraplegia yang lama diderita biasanya akan didapatkan adanya hipotensi
ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik ≤ 25 mmHg dan diastole ≤ 10 mmHg
ketika klien bangun dari posisi beraring ke posisi duduk). Pada klien
spondilitis tuberculosa tanpa paraplegia biasanya tidak didapatkan kelainan
pada sistem kardiovaskuler.
c) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Kepala : tidak ada gangguan, yaitu
normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan, sering didapatkan adanya nyeri
belakang kepala.
Leher
: pada spondilitis tuberculosa yang mengenai vertebra servikalis, sering
didapatkan adanya kekakuan leher sehingga mengganggu mobilisasi leher dalam
melakukan rotasi, fleki, dan ekstensi kepala.
Wajah
: wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Wajah
simetris, tidak ada lesi dan edema.
Mata
: tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis.
Telinga
: tes bisik atau weber masih dlam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
Hidung
: tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung.
Mulut
dan Faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
Pemeriksaan
fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien,
biasanya status mental klien tidak menglami perubahan.
d) B4 (Bladder)
Pada spondidlitis tuberculosa daerah torakal dan servikal,
tidak ada kelainan pada sistem ini. Pada spondilitis tuberculosa daerah lumbal,
sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan eliminasi urine.
e) B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : turgor baik, tidak ada kejang otot abdomen akibat adanya abses pada
lumbal, hepar tidak teraba. Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang
cairan. Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20x / menit.
Inguinal-genitalia-anus: tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lomfe, tidak
ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan metabolisme: pada klien spondilitis
tuberculosa, sering ditemukan penurunan nafsu makan dan gangguan menelan karena
adanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga pemenuhan nutrisi
menjadi berkurang.
f) B6 (Bone)
Look. Kurvatura tulang belakang
mengalami deformitas (kifosis) terutama pada spondilitis tuberculosa daerah
torakal. Pada spndilitis tuberculosa daerah vertebra lumbalis, hampir tidak
terlihat deformitas, tetapi terlihat adanya abses pada daerah bokong dan
pinggang. Pada spondilitis tuberculossa daerah servikal, terdapat kekakuan
leher.
Feel. Kaji adanya nyeri tekan pada daerah
spondilitis.
Move. Terjadi kelemahan anggota gerak
(paraparesis dan paraplegi) dan gangguan pergerakan tulang belakang. Pergerakan
yang berkurang tidak dapat dideteksi didaerah toraks, tetapi mudah diamati pada
tulang belakang ; punggung harus diperhtikan dengan teliti, sementara gerakan
dicoba. Biasanya seluruh gerakan terbatas dn usaha tersebut menimbulkan spasme
otot. Uji uang logam dapat menilai seorang anak yang mengalmi spasme lumbal. Bila
anak mengambil uang dari lantai,ia cenderung membongkokkan pinggul dan lutut,
bukan membungkukkan tulang belakang.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Nyeri b.d penurunan fungsi tulang
b.
Hambatan mobilitas fisik yang b.d nyeri
pada daerah fragmen tulang yang berubah, luka pada jaringan lunak
c.
Hipertermi b.d proses peradangan pada sendi.
3.
Intervensi
Dx
1: Nyeri b.d penurunan fungsi tulang
Tujuan:
Nyeri hilang, teratasi
Kriteria
Hasil : Memperlihatkan pengendalian nyeri
Menunjukkan tingkat
nyeri berkurang
Melaporkan nyeri dapat
dikendalikan
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Mandiri :
Kaji keluhan nyeri, catat
lokasi dan intensitas (skala 0 – 10). Catat faktor-faktor yang
mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
Berikan matras atau kasur keras, bantal kecil. Tinggikan
linen tempat tidur sesuai kebutuhan biarkan pasien mengambil posisi yang
nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi.
Tingkatkan istirahat ditempat tidur sesuai indikasi
Dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk
bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah,
hindari gerakan yang menyentak
Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran
pada waktu bangun. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang
sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi
Berikan massase yang lembut
Kolaborasi:
Pemberian analgetik jika nyeri tidak terkontrol
|
Membantu dalam menentukan kebutuhan managemen nyeri dan
keefektifan program
Matras yang lembut/empuk, bantal
yang besar akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang
tepat, menempatkan setres pada sendi yang sakit. Peninggian
linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi
/ nyeri
Pada penyakit berat, tirah baring mungkin diperlukan untuk
membatasi nyeri atau cedera sendi. Mencegah terjadinya kelelahan umum dan
kekakuan sendi.
Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas,
menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan dipagi hari. Sensitifitas pada
panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
Meningkatkan relaksasi atau mengurangi tegangan otot.,
Untuk membantu menghilangkan nyeri
|
Dx
2 : Hambatan mobilitas fisik yang b.d nyeri pada
daerah fragmen tulang yang berubah, luka pada jaringan lunak.
Tujuan : Mampu melakukan aktivitas
sehari-hari secara mandiri
Kriteria Hasil : Melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri
Berjalan dengan
menggunakan langkah-langkah yang benar
Memperlihatkan
mobilitas
No.
|
Intervensi
|
Rasioal
|
1.
2.
3.
4.
|
Mandiri :
Kaji tingkat kemampuan ROM aktif pasien
2. Anjurkan pasien untuk melakukan body
mechanic dan ambulasi
3. Berikan sokongan (support)
pada ekstremitas yang luka
Ajarkan cara-cara yang benar dalam melakukan macam-macam
mobilisasi seperti body mechanic ROM aktif, dan ambulasi
Kolaborasi:
5. Kolaborasi dengan fisioterapi
dalam penanganan traksi yang boleh digerakkan dan yang belum boleh digerakkan
|
1. ROM aktif dapat membantu
dalam mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot,
mempertahankan fungsi cardiorespirasi, dan mencegah kontraktur dan kekakuan
sendi
2.
Body mechanic dan ambulasi merupakan usaha
koordinasi diri muskuloskeletal dan sistem saraf untuk mempertahankan
keseimbangan yang tepat
3. Memberikan sokongan pada
ekstremitas yang luka dapat mingkatkan kerja vena, menurunkan edema, dan
mengurangi rasa nyeri
4.
4. Agar pasien terhindar dari
kerusakan kembali pada ekstremitas yang luka
Penanganan yang tepat dapat mempercepat waktu penyembuhan
|
Dx
3 : Hipertermi b.d proses peradangan pada sendi.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan
selam 1x24 jam, diharapkan menunjukkan suhu tubuh pasien dalam batas normal
Kriteria
hasil :
- Kulit pasien tidak kemerahan
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37oC)
- Kulit pasien tidak teraba hangat
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Mandiri:
Pantau suhu pasien (derajat dan pola); perhatikan
menggigil /diaphoresis
Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur,
sesuai indikasi
Berikan kompres hangat pada lipatan paha dan aksila, hindari
penggunaan alcohol
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Kolaborasi dengan pemberian
antipiretik, misalnya ASA (aspirin),
asetaminofen(Tylenol)
|
Suhu 38,9o - 41,1oC menunjukkan
proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis; mis,
kurva demam lanjut berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan demam remitten (
bervariasi hanya beberapa derajat pada arah tertentu. Menggigil sering
mendahului puncak suhu.
Suhu ruangan/ jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
Dapat membantu mengurangi demam.
Catatan: penggunaan air es/alcohol mungkin menyebabkan kedinginan,
peningkatan suhu secara actual. Selain itu alcohol dapat mengeringkan kulit.
Adanya peningkatan metabolism menyebabkan kehilangan banyak
energi. Untuk itu diperlukan peningkatan intake cairan dan nutrisi
Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentral nya
pada hipotalamus, meskipun demam mungkin dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme
dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.
|
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sepsis
arthritis adalah suatu penyakit yang menyerang sendi, dimana terjadi infeksi
pada sendi dimana penyebaran infeksinya bersifat hematogenesus atau secara
langsung. Biasanya disebabkan oleh infeksi dari bakteri (Staphylococcus
aureus dan Haemophilus influenza, E. coli dan Pseudomonas spp, Neisseria
gonorrhoeae, Salmonella spp, Mycobacterium tuberculosis dan spirochete
bacterium), virus (hepatitis A, B, dan C, parvovirus B19, herpes viruses, HIV
(AIDS virus), HTLV-1, adenovirus, coxsackie viruses, mumps, dan ebola), jamur
(histoplasma, coccidiomyces, dan blastomyces). Pasien dengan Artrits Septic Akut di
tandai dengan adalah nyeri sendi hebat, bengkak sendi, kaku dan gangguan fungsi
sendi, demam dan kelemahan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Doherty,
Gerard M. Septic Arthritis, In: Current Surgical Diagnosis and Treatment 12th
Edition. New York: McGraw-Hill. 2003. pp 1199-1200
Canale,
S Terry, James H Beaty. Infection arthritis, In: Campbell;s Operative
Orthopaedics Volume One 11th Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008. pp
723-728
Luqmani,
Raashid, James Robb, Daniel Porter, et al. Acute Septic Artritis, In: Textbook
of Orthopaedics, Trauma and Rheumatology. Philadelphia: Mosby Elsevier. pp
89-90
Sudoyo,aru
W.,dkk.(2009).Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Internal
Publishing
Muttaqin, Arif. (2008).
Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39924/4/Chapter%20II.pdf
(di akses pada tanggal 22 september 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar